Transportasi Indonesia | Proyek migas Forel dan Terubuk di Laut Natuna mulai menunjukkan hasil yang positif dalam pengembangan energi nasional. Kedua proyek ini dianggap mencerminkan upaya pemerintah untuk memperkuat kemandirian sektor hulu minyak dan gas bumi (migas), khususnya dalam mendukung ketersediaan bahan bakar minyak (BBM) dari dalam negeri.
Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menyampaikan apresiasinya terhadap pencapaian proyek tersebut. Ia menilai bahwa kemajuan yang dicapai merupakan bentuk nyata dari peningkatan kapasitas nasional dalam mengelola industri migas secara mandiri. Salah satu aspek yang disorot adalah penggunaan komponen utama yang berasal dari produksi dalam negeri.
Dari sisi tenaga kerja, proyek ini melibatkan sekitar 2.300 orang, termasuk lebih dari 1.300 pekerja konstruksi di galangan kapal Batam. Tingginya keterlibatan sumber daya lokal menjadi indikator bahwa pengembangan proyek energi ini tidak semata bergantung pada dukungan luar negeri.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menjelaskan bahwa proyek ini berlangsung di wilayah yang cukup menantang secara geografis. “Kami berada pada posisi 60 mil dari daratan, laut, dengan kedalaman sekitar 90 meter. Ini adalah wilayah kerja untuk minyak yang paling terjauh di Indonesia sekarang ini,” ujar Bahlil dalam kunjungannya ke anjungan lepas pantai Forel pada Kamis (16/5).
Proyek ini berlangsung di Wilayah Kerja (WK) South Natuna Sea Block B, Kepulauan Riau, yang memiliki fasilitas infrastruktur migas yang cukup lengkap. Di antaranya terdapat 16 platform lepas pantai, tiga lapangan bawah laut, dan dua unit Floating Production Storage and Offloading (FPSO), yaitu FPSO Marlin Natuna dan FPSO Belanak.
Menariknya, FPSO Marlin Natuna merupakan hasil konversi kapal tanker lama yang sepenuhnya dikerjakan di dalam negeri oleh PT Dok Warisan Pertama di Batam. Sementara itu, FPSO Belanak dikenal sebagai salah satu fasilitas pengolahan migas paling canggih dengan kemampuan memproses empat jenis produk termasuk minyak mentah dan naphta.
Dalam aspek produksi, proyek Forel dan Terubuk saat ini menghasilkan sekitar 30.000 barel minyak ekuivalen per hari (BOEPD). Menurut Bahlil, proyek ini menjadi salah satu langkah awal dalam mencapai target swasembada energi nasional.
“Insya Allah kami sebagai patriot bangsa akan siap menjalankan,” katanya.
Penggunaan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang tinggi dalam proyek ini juga menjadi faktor penting dalam efisiensi dan penguatan industri migas nasional. Dari pipa hingga sistem kontrol dan tenaga kerja, mayoritas berasal dari dalam negeri.
Dengan hasil produksi yang terus berjalan dan melibatkan banyak unsur lokal, proyek Forel dan Terubuk berpotensi memberikan kontribusi terhadap stabilitas pasokan BBM di Indonesia, sekaligus menjadi model pengembangan migas nasional yang lebih mandiri dan berkelanjutan.