Perbedaan Hitungan Kerugian Korupsi Pertamina Timbulkan Tanda Tanya

Perbedaan Hitungan Kerugian Korupsi Pertamina Timbulkan Tanda Tanya
Gedung Pertamina.

Transportasi Indonesia | Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah,  mempertanyakan perbedaan angka kerugian negara yang disampaikan Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak Pertamina. Hal tersebut dihimpun dari laman resmi DPR RI, dikutip pada Kamis (30/10/2025).

Ia menyoroti selisih antara angka potensi kerugian sebesar sekitar Rp968,5 triliun yang disampaikan pada tahap penyelidikan awal dan angka Rp285,1 triliun yang tercantum dalam surat dakwaan.

Abdullah menyebut perbedaan nilai tersebut dapat menimbulkan pertanyaan publik dan membuka ruang spekulasi. Ia mengingatkan agar ketidaksesuaian angka tidak menimbulkan kecurigaan yang dapat memengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum.

“Sekarang masyarakat bertanya-tanya, mengapa selisih kerugian dari kasus korupsi Tata Kelola Minyak Pertamina yang ditangani Kejagung itu sangat besar? Jangan salahkan masyarakat apabila curiga atau berspekulasi atas hal ini,” kata Abdullah.

Sebelumnya, pada Rabu (26/2), Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, menyampaikan bahwa kerugian negara dalam kasus ini berpotensi lebih besar dari Rp193,7 triliun, angka yang hanya mencakup tahun 2023. Dengan rentang waktu sejak 2018 hingga 2023, potensi nilai kerugian disebut dapat mencapai Rp968,5 triliun.

Namun, dalam dakwaan yang dibacakan pada Senin (13/10), nilai kerugian yang disebutkan jauh lebih kecil, yakni Rp285,1 triliun. Dakwaan tersebut menjerat Muhammad Kerry Adrianto Riza, anak dari pengusaha minyak Riza Chalid sekaligus beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, bersama empat terdakwa lainnya.

Selain menyoroti nominal kerugian, Abdullah juga menanggapi pernyataan dalam dakwaan yang menyebut tidak ditemukan praktik oplosan bahan bakar. Menurutnya, isu ini sebelumnya sudah menjadi perhatian publik.

Abdullah menilai terdapat inkonsistensi dalam penyampaian informasi dari Kejagung. Ia menekankan perlunya penjelasan terkait penggunaan istilah “blending” atau pencampuran komponen bahan bakar dengan kadar oktan berbeda.

“Lebih dari itu, pernyataan dari Kejagung tersebut sempat membuat masyarakat kecewa dan tidak percaya dengan Pertamina. Beberapa masyarakat bahkan sampai mengisi bahan bakarnya di SPBU selain Pertamina, ini tentu merugikan negara,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa Komisi III mendukung upaya pemberantasan korupsi, namun meminta agar proses hukum dijalankan secara profesional dan tidak mengutamakan pemberitaan yang menonjolkan sensasi.

“Kejagung dan aparat penegak hukum mesti profesional, transparan, dan akuntabel dalam menindak kasus korupsi yang ada,” ucap Abdullah.

Abdullah juga meminta kehati-hatian dalam penyampaian informasi agar tidak menimbulkan kebingungan publik. “Jangan membuat masyarakat bingung, panik, dan menimbulkan ketidakpercayaan yang berisiko menghadirkan kerugian baru lainnya yang tidak terkait dengan kasus korupsi yang sedang diusut,” lanjutnya.

Sebagai langkah penguatan, ia menyarankan Kejagung bekerja sama dengan lembaga seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta kalangan akademisi untuk memastikan akurasi perhitungan serta pemahaman aspek teknis kasus.

“Artinya Kejagung dan APH dapat bekerja sama dengan pihak lain seperti PPATK misalnya sebelum mengumumkan kerugian dari kasus korupsi yang ditangani,” ujarnya.

“Juga bisa berkolaborasi dengan pakar atau akademisi jika dibutuhkan untuk mendalami suatu hal teknis yang belum dimengerti,” pungkas Abdullah.

#Pertamina

Index

Berita Lainnya

Index