Transportasi Indonesia | Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto, menekankan pentingnya kajian ilmiah sebelum penerapan bioetanol sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia. Pernyataan ini disampaikan Sugeng melalui laman resmi DPR RI, dikutip pada Kamis (30/10/2025).
Ia menilai kebijakan tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan berbasis riset karena menyangkut kepentingan publik serta sektor strategis nasional.
“Karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan banyak pemangku kepentingan, pemanfaatan etanol sebagai campuran BBM harus melalui proses yang betul-betul proven, melalui kajian tertentu. Etanol ini memiliki sifat kimia yang spesifik, salah satunya bersifat korosif,” ujar Sugeng.
Sugeng menuturkan, sejumlah negara telah berhasil menggunakan bioetanol sebagai campuran bahan bakar kendaraan. Indonesia juga memiliki potensi besar karena sumber daya alam yang melimpah, terutama di wilayah tropis. Namun, penerapan kebijakan ini tetap perlu melalui penelitian dan uji coba menyeluruh agar tidak berdampak negatif pada performa kendaraan maupun infrastruktur energi.
“Pemanfaatan bioetanol ini sebenarnya langkah yang baik, apalagi jika kita melihat dampak jangka panjangnya terhadap ekonomi dan lingkungan. Tapi harus dikaji betul secara ilmiah agar tidak menimbulkan efek teknis yang tidak diinginkan,” tambahnya.
Menurut Sugeng, penggunaan bioetanol juga dapat menjadi strategi penting untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang selama ini membebani perekonomian nasional. Saat ini, konsumsi BBM Indonesia mencapai sekitar 1,6 juta barel per hari, sementara produksi dalam negeri hanya sekitar 600 ribu barel per hari.
“Artinya, kita masih mengimpor sekitar satu juta barel per hari, baik dalam bentuk minyak mentah maupun produk BBM jadi. Ini menjadi beban ekonomi yang terus meningkat setiap tahun dan membebani APBN kita,” jelasnya.
Selain itu, beban subsidi energi nasional masih tinggi, mencapai sekitar Rp308 triliun, termasuk untuk listrik, solar, dan LPG 3 kilogram. Dengan penerapan bioetanol hingga 10 persen dalam campuran BBM, Sugeng menilai Indonesia berpotensi menekan impor bahan bakar, mengurangi subsidi energi, dan menurunkan emisi karbon.
“Kalau 10 persen dari BBM digantikan dengan bioetanol, maka volume impor BBM bisa turun hingga 10 persen. Ini tentu berdampak langsung pada penghematan devisa dan penurunan emisi,” ujarnya.
Sugeng juga menyoroti potensi bahan baku bioetanol dari sumber daya lokal seperti tebu, singkong, dan nira aren. Menurutnya, nira aren menjadi pilihan paling ideal karena kandungan gulanya tinggi dan tidak mengganggu ketahanan pangan nasional.
“Negara tropis seperti Indonesia punya sumber daya yang melimpah. Molase dari tebu bisa digunakan, meskipun perlu diatur agar tidak berebut dengan kebutuhan gula. Selain itu, singkong dan nira aren dengan kadar gula tinggi juga sangat potensial untuk produksi bioetanol,” katanya.
Ia menekankan bahwa pengembangan bioetanol harus mempertimbangkan aspek keekonomian agar efisien secara industri. Produksi berskala besar dianggap penting untuk menjamin keberlanjutan dan daya saing sektor ini.
“Produksinya harus dalam skala besar supaya efisien dan tidak merugikan. Pemerintah juga perlu mengarahkan riset dan inovasi untuk menemukan formulasi paling tepat dalam pengolahan dan distribusinya,” lanjutnya.
Lebih jauh, Sugeng menegaskan peran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sangat penting dalam mendukung kebijakan bioetanol melalui riset yang komprehensif. Menurutnya, riset mendalam sekaligus sosialisasi publik dibutuhkan agar masyarakat memahami tujuan penerapan bioetanol.
“Pemerintah melalui lembaga berkompeten seperti BRIN harus melakukan riset dan sosialisasi secara tuntas, agar masyarakat memahami kenapa kita beralih ke bioetanol. Tujuannya jelas untuk menghemat devisa, menekan emisi, dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil,” tegasnya.
Sugeng menambahkan, DPR RI akan terus mendukung langkah pemerintah dalam transisi menuju energi bersih dan berkelanjutan, selama kebijakan tersebut disusun berdasarkan kajian ilmiah yang kuat dan berpihak pada kepentingan nasional.